Berawal dari weekend yang belum ada rencana apa-apa dan kemana-mana, jadi aja tawaran Sigit, temen sekantor, nge-camp di Pulau Tidung aku IYA-kan tanpa fikir panjang. Sehari sebelumnya.
Pagi-pagi benar aku dan beberapa kawan sudah berkumpul di dermaga Muara Angke biar tak ketinggalan kapal untuk menyebrang pulau. Walah..setelah semua berkumpul, ternyata kawan-kawannya seperjalanannya selain dari teman sekantor, mereka adalah kawan-kawan yang pernah dalam satu acara juga di JPers On 7 beberapa waktu lalu. Baiklah…mari kita liburan. Hilangkan segala kepenatan.
Terakhir, sekitar 2 tahun yang lalu. Muara Angke tetap pada bau amis-nya yang menyengat. Pada sibuknya para pencari nafkah, bergelut pada tangkapan laut yang beragam. Bertukar rupiah demi rupiah. Pada kapal-kapal yang bersandar. Pada wisatawan yang hendak menikmati keindahan pulau-pulau seberang. Surga Indonesia.
Biru menghampar di gelombang air yang berputar-putar mengikuti angin yang berhembus kencang. Melaju tanpa ragu dengan suara mesin yang terus menderu. Tiga jam kami berada didalam kapal. Kapal yang dirancang sedemikan demi kenyamanan dan keselamatan. Demi sebuah peraturan ke-laik lautan-an.

Dermaga Pulau Tidung melambai ke tiap kapal berpenumpang. Menyambut setiap kapal yang hendak akan bersandar. Kami berencana bermalam di Tidung kecil, mendirikan beberapa buah tenda. Bukan karena tidak mampu untuk menyewa homestay yang kian menjamur. Kami hanya ingin menikmati kebersamaan ini dengan cara kami sendiri.
Terik mentari dan hembusan angin semilir membawa langkah kaki kami. Pulau Tidung dikembangan menjadi kawasan wisata bahari. Terlihat dari fasilitas-failitas yang di tawarkan; area penyelaman dan penelitian terumbu karang, permainan yang beragam, banana boat, flying fox, kano, dan jembatan cinta yang menjadi salah satu objek yang cukup diminati. Ramai sekali.
Aku mencoba menikmati dengan segala kondisi yang ada. Semak belukar yang sudah berganti warung-warung penjual aneka hidangan, souvenir, dan tempat peristirahatan. Ada yang bertambah dan banyak yang berkurang. Sayang.
Jembatan kayu panjang yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Kecil mulai melapuk. Tidak sedikit tambalan sana –sini agar tetap bisa dilalui. Pendopo yang menjadi tempat paling menyenangkan saat memandang mentari terbit dan tenggelam, telah hilang terhantam gelombang. Hanya tersisa puing-puing yang belum ada tanda perbaikan.

Tidung Kecil dengan pesonanya. Aku terbuai. Hempasan gelombang ke arah pantai pasir putih menjilat kaki-kaki kami. Damai dengan lautan sebagai satu-satunya pemandangan.
Sebelum bercengkrama lebih manja, kami memasak terlebih dahulu untuk mengisi perut-perut yang mulai bernyanyi nada sumbang. Beberapa saat kemudian, menu sayur asam, ikan asin, tempe goreng, dan tumisan terhidang di “meja makan”. Mari kita habiskan.
Tak ingin membuang waktu yang tersisa. Kami mulai menyibukkan diri menikmati liburan yang tak panjang. Foto narsis menjadi kegiatan yang tak pernah ketinggalan. Menceburkan diri ke kolam raksasa. Bermanja dengan ikan-ikan kecil dan terumbu karang di tempat yang dangkal karena tak bisa berenang.
“hai…ada segerombolan bulu babi sedang berkerumun”

Mentari yang sedari tadi tertutup awan, kini sudah benar-benar menghilang. Gelap. Kami segera bergegas kembali menuju tenda tempat peristirahatan.
Di saat rasa lapar mulai menyerang, masak-memasak pun dimulai. Menu makan malam didominasi ikan. Ikan bakar dan sup ikan yang akan kami siapkan. Jagung bakar pun tak ketinggalan. Setelah semua matang, lagi-lagi kami sajikan di sebuah meja makan ala kadarnya. Ayo makan sampai kenyang :D

Angin malam begitu kencang. Tak ada bulan yang menerangi malam karena langit tertutup awan. Lampu senter yang kami bawa cukup untuk membuat suasana menjadi temaram. Dengan perut kenyang, badan yang sudah mulai tak seimbang membuat kami tak berlama-lama memandang lautan. Kami kembali ke tenda untuk menghabiskan malam. Tidur dengan tenang.
Bunyi alarm handphone membangunkan seisi tenda yang aku tempati bersama teh Agni dan mba Eni. Kami bergegas menuju kolam besar untuk mengambil air suci lagi menyucikan agar dapat melakukan sholat subuh.
Pagi ini aku berencana mengelilingi pulau Tidung Kecil. Bersama Dadi dan teh Agni kami mulai berjalan di bibir pantai berpasir landai. Berfoto ria di setiap ada kesempatan, dan itu sepanjang jalan. Di Tidung Kecil tidak seramai di Tidung Besar. Dengan begitu, kami bisa menikmati keindahan dengan tenang tanpa banyak gangguan.
Sekitar satu jam kami sudah kembali ke titik awal perjalanan dari arah yang berlawanan. Kami sudah berhasil mengelilingi. Suatu kepuasan tersendiri. Subhanallah.
Kebersamaan yang tak bisa lama, karena siang ini kami harus segera bergegas kembali ke dermaga. Kapal-kapal sudah menanti untuk kami tumpangi, kembali ke peradaban sebenarnya.
Kami memanfaatkan sisa waktu dengan kembali bermanja bersama terumbu karang dan ikan-ikan kecil yang sedang mencari makan.
Hari semakin siang, sudah waktunya untuk menuju dermaga kalau tidak ingin ketinggalan kapal. Kami mendapatkan kapal keberangkatan yang terakhir. Penuh sudah. Tempat di samping mesin kapal menjadi pilihan tempat “paling nyaman”. Telinga di sumbat, mulut pun ditutup rapat, begitu juga mata sebagai cara menikmati perjalanan pulang. Ya…sepanjang jalan tak banyak yang dapat kami lakukan, tidur, menunggu kapal melemparkan tali untuk diikat menandakan kapal sudah benar-benar tertambat.

Ku ucapkan terimakasih untuk teman-temanku semua untuk kebersamaannya. Jamuannya luar biasa, makanan melimpah. Awalnya sempat khawatir karena tidak menyiapkan apa-apa, namun ternyata persiapan sempurna. Besok-besok ajak lagi yaaa
-Faidah-
Pulau Tidung, 1-2 Oktober 2011
Foto. Pulau Tidung
Pagi-pagi benar aku dan beberapa kawan sudah berkumpul di dermaga Muara Angke biar tak ketinggalan kapal untuk menyebrang pulau. Walah..setelah semua berkumpul, ternyata kawan-kawannya seperjalanannya selain dari teman sekantor, mereka adalah kawan-kawan yang pernah dalam satu acara juga di JPers On 7 beberapa waktu lalu. Baiklah…mari kita liburan. Hilangkan segala kepenatan.
Terakhir, sekitar 2 tahun yang lalu. Muara Angke tetap pada bau amis-nya yang menyengat. Pada sibuknya para pencari nafkah, bergelut pada tangkapan laut yang beragam. Bertukar rupiah demi rupiah. Pada kapal-kapal yang bersandar. Pada wisatawan yang hendak menikmati keindahan pulau-pulau seberang. Surga Indonesia.
Biru menghampar di gelombang air yang berputar-putar mengikuti angin yang berhembus kencang. Melaju tanpa ragu dengan suara mesin yang terus menderu. Tiga jam kami berada didalam kapal. Kapal yang dirancang sedemikan demi kenyamanan dan keselamatan. Demi sebuah peraturan ke-laik lautan-an.
Dermaga Pulau Tidung melambai ke tiap kapal berpenumpang. Menyambut setiap kapal yang hendak akan bersandar. Kami berencana bermalam di Tidung kecil, mendirikan beberapa buah tenda. Bukan karena tidak mampu untuk menyewa homestay yang kian menjamur. Kami hanya ingin menikmati kebersamaan ini dengan cara kami sendiri.
Terik mentari dan hembusan angin semilir membawa langkah kaki kami. Pulau Tidung dikembangan menjadi kawasan wisata bahari. Terlihat dari fasilitas-failitas yang di tawarkan; area penyelaman dan penelitian terumbu karang, permainan yang beragam, banana boat, flying fox, kano, dan jembatan cinta yang menjadi salah satu objek yang cukup diminati. Ramai sekali.
Aku mencoba menikmati dengan segala kondisi yang ada. Semak belukar yang sudah berganti warung-warung penjual aneka hidangan, souvenir, dan tempat peristirahatan. Ada yang bertambah dan banyak yang berkurang. Sayang.
Jembatan kayu panjang yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Kecil mulai melapuk. Tidak sedikit tambalan sana –sini agar tetap bisa dilalui. Pendopo yang menjadi tempat paling menyenangkan saat memandang mentari terbit dan tenggelam, telah hilang terhantam gelombang. Hanya tersisa puing-puing yang belum ada tanda perbaikan.
Tidung Kecil dengan pesonanya. Aku terbuai. Hempasan gelombang ke arah pantai pasir putih menjilat kaki-kaki kami. Damai dengan lautan sebagai satu-satunya pemandangan.
Sebelum bercengkrama lebih manja, kami memasak terlebih dahulu untuk mengisi perut-perut yang mulai bernyanyi nada sumbang. Beberapa saat kemudian, menu sayur asam, ikan asin, tempe goreng, dan tumisan terhidang di “meja makan”. Mari kita habiskan.
Tak ingin membuang waktu yang tersisa. Kami mulai menyibukkan diri menikmati liburan yang tak panjang. Foto narsis menjadi kegiatan yang tak pernah ketinggalan. Menceburkan diri ke kolam raksasa. Bermanja dengan ikan-ikan kecil dan terumbu karang di tempat yang dangkal karena tak bisa berenang.
“hai…ada segerombolan bulu babi sedang berkerumun”
Mentari yang sedari tadi tertutup awan, kini sudah benar-benar menghilang. Gelap. Kami segera bergegas kembali menuju tenda tempat peristirahatan.
Di saat rasa lapar mulai menyerang, masak-memasak pun dimulai. Menu makan malam didominasi ikan. Ikan bakar dan sup ikan yang akan kami siapkan. Jagung bakar pun tak ketinggalan. Setelah semua matang, lagi-lagi kami sajikan di sebuah meja makan ala kadarnya. Ayo makan sampai kenyang :D
Angin malam begitu kencang. Tak ada bulan yang menerangi malam karena langit tertutup awan. Lampu senter yang kami bawa cukup untuk membuat suasana menjadi temaram. Dengan perut kenyang, badan yang sudah mulai tak seimbang membuat kami tak berlama-lama memandang lautan. Kami kembali ke tenda untuk menghabiskan malam. Tidur dengan tenang.
***
Bunyi alarm handphone membangunkan seisi tenda yang aku tempati bersama teh Agni dan mba Eni. Kami bergegas menuju kolam besar untuk mengambil air suci lagi menyucikan agar dapat melakukan sholat subuh.
Pagi ini aku berencana mengelilingi pulau Tidung Kecil. Bersama Dadi dan teh Agni kami mulai berjalan di bibir pantai berpasir landai. Berfoto ria di setiap ada kesempatan, dan itu sepanjang jalan. Di Tidung Kecil tidak seramai di Tidung Besar. Dengan begitu, kami bisa menikmati keindahan dengan tenang tanpa banyak gangguan.
Sekitar satu jam kami sudah kembali ke titik awal perjalanan dari arah yang berlawanan. Kami sudah berhasil mengelilingi. Suatu kepuasan tersendiri. Subhanallah.
Kebersamaan yang tak bisa lama, karena siang ini kami harus segera bergegas kembali ke dermaga. Kapal-kapal sudah menanti untuk kami tumpangi, kembali ke peradaban sebenarnya.
Kami memanfaatkan sisa waktu dengan kembali bermanja bersama terumbu karang dan ikan-ikan kecil yang sedang mencari makan.
Hari semakin siang, sudah waktunya untuk menuju dermaga kalau tidak ingin ketinggalan kapal. Kami mendapatkan kapal keberangkatan yang terakhir. Penuh sudah. Tempat di samping mesin kapal menjadi pilihan tempat “paling nyaman”. Telinga di sumbat, mulut pun ditutup rapat, begitu juga mata sebagai cara menikmati perjalanan pulang. Ya…sepanjang jalan tak banyak yang dapat kami lakukan, tidur, menunggu kapal melemparkan tali untuk diikat menandakan kapal sudah benar-benar tertambat.
Ku ucapkan terimakasih untuk teman-temanku semua untuk kebersamaannya. Jamuannya luar biasa, makanan melimpah. Awalnya sempat khawatir karena tidak menyiapkan apa-apa, namun ternyata persiapan sempurna. Besok-besok ajak lagi yaaa
-Faidah-
Pulau Tidung, 1-2 Oktober 2011
Foto. Pulau Tidung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar